Selasa, 21 Juli 2009

MALAPRAKTIK, MEDICAL ERROR dan TANGGUNG JAWAB PIDANA

PENDAHULUAN
Praktik kedokteran merupakan suatu praktik penuh risiko. Tindakan medik diagnostik maupun terapetik tidak pernah lepas dari kemungkinan cedera, syok sampai meninggal. Selain itu, pada umumnya hasil suatu pengobatan tidak dapat diramalkan secara pasti. Seorang dokter dikatakan melakukan malapraktik jika ia melakukan praktik kedokteran sedemikian buruknya, berupa kelalaian besar (culpa lata), kecerobohan yang nyata atau kesengajaan yang tidak mungkin dilakukan oleh dokter pada umumnya, dan bertentangan dengan undang-undang, sedemikian sehingga pasien mengalami kerugian.[1]
Sengketa medik yang terjadi antara dokter dan pasien dapat merupakan tindak pidana jika perbuatan dokter terhadap pasien tersebut memenuhi unsur tindak pidana menurut hukum pidana tertulis. Beberapa tindakan dokter yang dikategorikan sebagai tindak pidana menurut hukum positip di Indonesia, diantaranya perbuatan menipu pasien (pasal 378 KUHP), melanggar kesusilaan (pasal 285,286,290,294 KUHP), pengguguran kandungan (pasal 347-349 KUHP) sengaja membiarkan pasien tidak tertolong (pasal 304, 531 KUHP) membocorkan rahasia kedokteran (pasal 322 KUHP), lalai sehingga menyebabkan luka atau mati (pasal 359, 360, 361 KUHP), memberi atau menjual obat palsu (pasal 386 KUHP), melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP)[2]. Perkembangan masyarakat dan teknologi kedokteran seyogyanya mendorong dokter untuk mengikuti perkembangan etik dan hukum kedokteran, karena mau tidak mau, suka tidak suka, seorang dokter dalam melaksanakan tugasnya memiliki tanggung jawab secara profesi, secara etik dan secara hukum.

PENGERTIAN
• MALAPRAKTIK MEDIK: kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk menerapkan tingkat ketrampilan dan pengetahuannya di dalam memberikan pelayanan pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang lazimnya diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka di lingkungan wilayah yang sama.
• MEDICAL ERROR: Suatu proses yang gagal dan berhubungan dengan hasil yang negatif
• KECELAKAAN MEDIK: Kecelakaan mengandung unsur yang tidak dapat dipersalahkan, tidak dapat dicegah, dan terjadinya tidak dapat diduga sebelumnya
• ADVERSE EVENT: kejadian yang berlawanan dengan harapan pasien (dan harapan dokter), bersifat injury dan lebih disebabkan oleh intervensi medik dari pada penyakitnya sendiri
• TINDAK PIDANA: Tindakan manusia yang memenuhi rumusan Undang-undang, bersifat melawan hukum, dan dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan

MALAPRAKTIK MEDIK
Malapraktik, berarti sikap, tindak yang salah, pemberian pelayanan yang tidak benar.
Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan
Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajiban (negligence)
Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundang-undangan[3]
Malapraktik dapat dibedakan menjadi malapraktik yuridis dan malapraktik etis. Malapraktik yuridis dibedakan 3 (tiga) kelompok, yaitu criminal malpractice (pidana), civil malpractice (perdata), dan administrative malpractice (administrasi)

Criminal malpractice dibedakan 3 (tiga) golongan, yaitu;[4]
karena kesengajaan (intentional), misalnya aborsi tanpa indikasi medik, euthanasia, membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat, memberikan surat keterangan dokter yang tidak benar
karena kecerobohan (recklessness), misalnya tindakan yang tidak lege artis (tidak sesuai dengan indikasi medik dan tidak memenuhi standar pelayanan medik), tindakan tanpa informed consent.
karena kealpaan (negligence), misalnya : meninggalkan kasa/gunting di dalam perut pasien yang dioperasi, alpa/kurang hati-hati, sehingga pasien cacat/meninggal,
Perlu dibedakan antara malapraktik dan kealpaan (negligence). Kealpaan termasuk malapraktik, tetapi di dalam malapraktik tidak selalu harus terdapat unsur kealpaan. Malapraktik kecuali mencakup kealpaan, juga mencakup tindakan yang dilakukan dengan sengaja dan melanggar undang-undang.[5]

MEDICAL ERROR
Medical error terjadi akibat kegagalan terapi yang berupa:[6]
Tindakan operasi: komplikasi, kecelakaan (surgical mishap), kecelakaan anestesi (mis.alergi), tindakan operasi berisiko, keadaan pasien yang penuh risiko.
Pemberian pengobatan: komplikasi pengobatan, kecelakaan medik, kesalahan diagnostik, kesalahan memilih obat
Medical error melibatkan unsur manusia dan sistem




KECELAKAAN MEDIK (medical mishap, misadventure, accident)

Kecelakaan medik mengandung unsur yang tidak dapat dipersalahkan, tidak dapat dicegah, dan terjadinya tidak dapat diduga sebelumnya.

ADVERSE EVENT
Adverse Event dapat dibagi 2 (dua) kelompok:
Tanpa kesalahan manusia timbul peristiwa negatif
Terdapat kesalahan manusia (human error): kurang trampil, kurang pengalaman/pengetahuan, kesalahan menegakkan diagnosis, kurang pengawasan, kurang pemeriksaan penunjang dll. Human error dapat disertai mechanical error.

TINDAK PIDANA DALAM BIDANG MEDIK
Hukum Pidana merupakan bagian dari hukum publik dalam arti yang luas, yang menitikberatkan pada pelayanan dan perlindungan terhadap kepentingan umum atau masyarakat.
Arief berpendapat bahwa pertanggungjawaban yang didasarkan pada kebebasan individu merupakan kekuatan penggerak utama dari proses sosial, yaitu: [7]
pertanggungjawaban pidana bersifat pribadi/ perorangan (asas personal)
pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas: tiada pidana tanpa kesalahan)
pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku

Dalam menentukan seseorang bersalah atau tidak, menurut hukum ditentukan oleh 3 (tiga) hal berikut:[8]
a. Keadaan jiwa orang yang melakukan itu
b. Dolus (kesengajaan) atau culpa (kelalaian, kealpaan)
c. Tidak adanya alasan pemaaf
Bambang Poernomo (1996) menyebutkan bahwa sumber kesalahan dalam melaksanakan tugas profesi dapat berupa: 1). kesalahan medik (kesalahan melaksanakan tugas profesi atas dasar ketentuan profesi medik) dan 2). kesalahan yuridis (kesalahan melaksanakan tugas profesi atas dasar ketentuan peraturan undang-undang atau hukum). Sumber kesalahan dapat berupa:[9]
a. melalaikan kewajiban
b. melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat mengingat sumpah profesi atau sumpah jabatan
c. mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan menurut standar profesi
d. berperilaku tidak sesuai dengan patokan umum mengenai kewajaran yang diharapkan dari sesama rekan seprofesi dalam keadaan sama dan tempat yang sama
Di dalam masyarakat modern terdapat 3 (tiga) isu sentral yang melekat pada profesi (Arief,1992), yaitu:[10]
1. Mereka melayani kepentingan-kepentingan yang sangat mendasar di dalam kehidupan masyarakat
2. Mereka mempunyai monopoli pelayanan
3. Mereka memiliki self regulation yang seringkali lepas dari pengawasan masyarakat
Jonkers menyebutkan 4 unsur kesalahan (kelalaian) sebagai tolok ukur dalam Hukum Pidana: [11]
1. bertentangan dengan hukum
2. akibatnya dapat dibayangkan
3. akibatnya dapat dihindarkan
4. sehingga perbuatannya dapat dipersalahkan
Tindak pidana terhadap nyawa dan tindak pidana terhadap tubuh dapat dikaitkan dengan ketentuan yang ada dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana:
1. Pasal 359: Menyebabkan matinya orang lain karena kealpaannya
2. Pasal 360: Karena kealpaannya menyebabkan orang luka berat atau luka sehingga sakit sementara atau tidak dapat bekerja sementara
3. Pasal 348: Mengenai pengguguran kandungan (aborsi)
4. Pasal 344: Mengenai menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri (euthanasia)
5. Pasal 322: Mengenai membuka rahasia jabatan
6. Pasal 531: Tidak melakukan pertolongan terhadap seseorang yang sedang dalam keadaan emergency, meskipun tahu bahwa tidak ada dokter lain yang akan menolongnya (negative act)
Perbuatan lain yang dapat dikenai pidana, misalnya :
a. Pasal 378 : Perbuatan menipu pasien
b. Pasal 290 : Melanggar kesopanan
c. Pasal 386 : Memberi atau menjual obat palsu
d. Pasal 267 : Membuat surat keterangan palsu

KARENA KEALPAANNYA MENYEBABKAN MATINYA ORANG LAIN
Pasal 359
Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun

KARENA KEALPAANNYA MENYEBABKAN ORANG LUKA BERAT ATAU LUKA SEHINGGA SAKIT SEMENTARA ATAU TIDAK DAPAT BEKERJA SEMENTARA

Pasal 360
(1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun
(2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah

Pasal 361
Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan Hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.

ABORSI
Pasal 348
(1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun

Pasal 348 KUHP ini melarang tindakan aborsi. Hal ini sesuai dengan Sumpah Dokter Indonesia: “Saya akan menghormati setiap hidup insani, mulai dari saat pembuahan”. Demikian pula dalam KODEKI pasal 7d disebutkan
“Setiap dokter harus senanatiasa mengingat akan kewajiban melindungi makluk insani”. Dalam hukum kedokteran, suatu tindakan medik yang dilakukan atas indikasi medik demi tujuan kuratif yang akan dicapai; tidak bertentangan dengan hukum,. Ilmu hukum dan jurisprudensi membenarkan abortus berdasarkan indikasi medik yang dapat dibenarkan oleh hukum.[12]
Pasal 299, 347 dan 349 KUHP juga memuat larangan aborsi.

PasaL 299
(1) Barangsiapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah.
(2) Jika yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan atau juru obat; pidananya dapat ditambah sepertiga.
(3) Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut, dalam menjalankan pencarian, maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.


Pasal 347
(1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun


Pasal 349
Jika seorang tabib, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertia dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.

EUTHANASIA
Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti baik, dan thanatos, berarti mati; mengakhiri hidup tanpa penderitaan.
KODEKI pasal 7d menyebutkan:” “Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makluk insani”, berarti seorang dokter tidak diperbolehkan:[13]
1. menggugurkan kandungan (abortus provocatus)
2. mengakhiri hidup seorang sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi
Sampai saat ini euthanasia aktif maupun pasif dilarang di Indonesia. Hal ini diatur dalam pasal 344 KUHP.
Pasal 344
Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

MEMBUKA RAHASIA JABATAN
Pasal 322
(1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah.
(2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang itu.

Hal ini senada dengan pasal 12 Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI): “Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuat yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia”. Norma etik yang berpedoman pada Sumpah Hippocrates, diangkat menjadi norma hukum. Sumpah Dokter Indonesia juga menyebutkan: “Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan karena keimuan saya sebagai dokter”.

TIDAK MELAKUKAN PERTOLONGAN TERHADAP SESEORANG YANG SEDANG DALAM KEADAAN EMERGENCY
Pasal 531
Barangsiapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi maut, tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan padanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain, diancam, jika kemudian orang itu meninggal, dengan kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.

KODEKI pasal 13 menyebutkan: “Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya”.

MEMBUAT SURAT KETERANGAN PALSU
Pasal 267
(1) Seorang dokter yang dengan sengaja memberi surat keterangan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan orang ke dalam rumah sakit gila atau untuk menahannya di situ, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun enam bulan.
(3) Diancam dengan pidana yang sama barangsiapa dengan sengaja memakai surat keterangan palsu itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran.

PERBUATAN MENIPU
Pasal 378
Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat (hoedanigheid) palsu; dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang ataupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

MELANGGAR KESOPANAN
Pasal 290. diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
ke-1: barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahui,bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya
ke-2: barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin

MEMBERI ATAU MENJUAL OBAT PALSU
Pasal 386
(1) Barangsiapa menjual, menawarkan atau menyerahkan barang makanan, minuman atau obat-obatan yang diketahui bahwa itu dipalsu, dan menyembunyikan hal itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Bahan makanan, minuman atau obat-obatan itu dipalsu, jika nilainya atau faedahnya menjadi kurang karena sudah dicampur dengan sesuatu bahan lain.

DASAR-DASAR PENIADAAN KESALAHAN MEDIK
Alasan penghapus pidana meliputi alasan pembenar dan alasan pemaaf.
1. Alasan pembenar menghapuskan unsur melawan hukum, diatur dalam pasal 49 ayat (1) tentang pembelaan darurat, pasal 50 tentang melaksanakan peraturan perundang-undangan, dan pasal 51 ayat (1) tentang melaksanakan perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
2. Alasan pemaaf menghapuskan unsur pertanggungjawaban dari si pelaku, diatur dalam pasal 44 mengenai ketidakmampuan bertanggung jawab, pasal 48 mengenai daya paksa, pasal 49 ayat (2) mengenai pembelaan terpaksa yang melampaui batas; pasal 51 ayat 2 mengenai melaksanakan perintah jabatan tidak sah (melakukan perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang, namun pelaku dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya).

Alasan peringan memberikan keringanan hukuman bagi orang yang melakukan tindak pidana dalam kondisi tertentu atau dalam kualifikasi tertentu.

Alasan pemberat pidana diatur dalam pasal 486-488 tentang pengulangan tindak pidana, pasal 52 tentang pemberatan karena jabatan, dan pasal 65-66 tentang perbarengan perbuatan (concursus realis)

BEBAN PEMBUKTIAN
Apabila dokter dituntut karena dugaan malapraktik yang dikaitkan dengan tindak pidana, maka beban pembuktian terletak pada Penuntut Umum atau penggugat, dan terhadap dokter harus diperlakukan azas praduga tak bersalah.
Pembuktian perkara pidana berarti membuktikan adanya:
Actus reus (perbuatan tercela) berupa positive acts atau negative acts
Mens rea (sikap batin yang salah), dapat digolongkan intentional (sengaja), recklessness (kecerobohan) dan negligence (kurang hati-hati)

PENUTUP
Masyarakat semakin maju dan kritis. Dokter dituntut bekerja sesuai dengan Standar Pelayanan Medik, secara lege artis, dan tindakan dilakukan atas dasar indikasi medik. Perlu dibangun hubungan saling percaya (fiduciary relationship) antara pasien dan dokter, sehingga dapat terjalin komunikasi timbal balik dan kerja sama yang baik dalam mencapai kesembuhan pasien.













DAFTAR PUSTAKA


Atmadja, Djaja Surya. 2004. “Malpraktek Medis, Pembuktian dan Pencegahannya” (dalam Trilogi Rahasia Kedokteran, Malpraktek & Peran Asuransi). Jakarta

Arief, Barda Nawawi. 2002.Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra Aditya Bakti. Bandung

Dahlan, Sofwan. 2001. “Malpraktek” (dalam Hukum Kesehatan, Rambu-rambu bagi Profesi Dokter). Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang

Guwandi,J. 1991. Etika dan Hukum Kedokteran.. Badan Penerbit FKUI. Jakarta.

_______ . 2005.Hukum Medik (Medical Law) Balai Penerbit FKUI. Jakarta

_______ . 2005. Medical Error dan Hukum Medis. Balai Penerbit FKUI. Jakarta

Muladi dan Arief, Barda Nawawi.1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Penerbit Alumni. Bandung

Poernomo, Bambang. 1996. Hukum Kesehatan. Penerbit Aditya Media. Yogyakarta

Samil, Ratna Suprapti. 2001. Euthanasia” (dalam Etika Kedokteran Indonesia). Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta

Senoadji, Oemar. 1987. “Pertanggungjawaban Tenaga Kesehatan dalam Hal Malpraktis menurut Hukum Pidana” (disampaikan pada Kursus Dasar Hukum Kesehatan). Jakarta

Sudarto. 1990. Hukum Pidana I. Yayasan Sudarto. Semarang

*) Dokter Umum Alumni Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang
[1] Djaja Surya Atmadja: “Malpraktek Medis, Pembuktian dan Pencegahannya” (dalam Trilogi Rahasia Kedokteran, Malpraktek & Peran Asuransi). Jakarta. 2004. hal.36
[2] Ibid
[3] J.Guwandi: Hukum Medik (Medical Law) Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2005. hal. 22-24
[4] Sofwan Dahlan: “Malpraktek” (dalam Hukum Kesehatan, Rambu-rambu bagi Profesi Dokter). Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 2001. hal. 59-62
[5] J.Guwandi:”Perbedaan Malpraktek dan Kelalaian” (dalam Hukum Medik, Medical Law).BP FKUI. Jakarta. 2005.hal.20,21
[6] J.Guwandi: “Medical Error” (dalam Medical Error dan Hukum Medis). Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2005. hal. 10,11
[7] Barda Nawawi Arief: Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. 2002. hal. 38-39
[8] Sudarto: Hukum Pidana I. Yayasan Sudarto. Semarang. 1990. hal. 91

[9] Bambang Poernomo: Hukum Kesehatan. Penerbit Aditya Media. Yogyakarta. 1996. hal. 1-2
[10] Muladi dan Barda Nawawi Arief: Bunga Rampai Hukum Pidana.1992.hal. 64
[11] J.Guwandi: “Kelalaian Medis” (dalam Hukum Medik, Medical Law). BP FKUI. Jakarta. 2005. hal. 30

[12] Oemar Senoadji: “Pertanggungjawaban Tenaga Kesehatan dalam Hal malpraktis menurut Hukum Pidana” (disampaikan pada kursus Dasar hokum Kesehatan). Jakarta. 1987
[13] Ratna Suprapti Samil: “Euthanasia” (dalam Etika Kedokteran Indonesia). Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. 2001. hal. 98

Tidak ada komentar:

Posting Komentar