Selasa, 21 Juli 2009

MALAPRAKTIK , ASPEK ETIK dan HUKUM PELAYANAN KESEHATAN

PENDAHULUAN
Pelayanan kesehatan berbeda dengan pelbagai pelayanan lainnya. Hasil pelayanan kesehatan tidaklah pernah bersifat pasti. Pelayanan kesehatan yang sama yang diberikan kepada dua orang pasien yang sama dapat saja memberikan hasil yang berbeda. Dengan karakteristik yang seperti ini maka jelaslah pada pelayanan kesehatan yang dijanjikan bukanlah hasilnya, melainkan upaya yang dilakukan, yang dalam hal ini adalah harus sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Dengan perkataan lain pada pelayanan kesehatan, para
pelaku usaha, yakni para dokter dan atau pelbagai sarana pelayanan kesehatan, tidak pernah dapat memberikan jaminan dan/atau garansi.[1]
Sekalipun Undang-undang No 8 tahun 1999 pada dasarnya tidak bertentangan dengan Kode Etik dan Sumpah Dokter, bukan lalu berarti Undang-undang No 8 tahun 1999 tersebut dapat langsung diterapkan pada pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan sebagal suatu jasa memiliki pelbagai karakteristik tersendiri. Dengan demikian penerapan Undang-undang No 8 tahun 1999 pada pelayanan kesehatan harus memperhatikan pelbagai karakteristik tersebut. Pasien tidak sama dengan konsumen biasa, karena pasien memiliki hakikat, ciri-ciri, karakter dan sifat yang sangat berbeda dengan konsumen yang dikenal dalam dunia dagang pada umumnya.[2]
Bertens (2004) menyebutkan bahwa di dalam menyembuhkan pasien, dokter menjalin covenant dengan pasien, bukan contract. Hubungan pasien dan dokter melebihi status kontrak, karena dokter wajib memiliki kepedulian (caring) kepada pasien, termasuk saat pasien mengalami kegawatan secara tiba-tiba. Hal ini berbeda dengan kontrak para pelaku bisnis, di mana tanggung jawab dan keterlibatannya terbatas pada the term of reference dalam kontrak tersebut, apa yang terjadi di luar kontrak tidak termasuk di dalamnya. Demikian pula sebutan “konsumen” bagi pasien, sebenarnya terlalu sempit, karena konsumen dapat memilih ke mana ia akan membelanjakan uangnya, sedangkan orang sakit tidak menikmati kebebasan konsumen. Orang sakit membutuhkan pertolongan segera, yang kadang-kadang bahkan menyangkut masalah hidup dan mati. Demikian pula pelayanan kesehatan bukan suatu komoditas walaupun ada beberapa ciri yang membuatnya mirip dengan komoditas ekonomi.[3]
Oleh karena itu setiap dokter seyogyanya memahami etik kedokteran serta aspek hukum pelayanan kesehatan, khususnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

Malapraktik dan Etika Kedokteran
Kewajiban etik mendorong manusia ke arah suatu tujuan tertentu, yaitu humanisasi hidup; bukan hanya dalam bidang moral tetapi juga dalam bidang hukum. Humanisasi hidup itu berdasarkan pada eksistensi manusia sebagai Berbagai pedoman yang mengatur profesi dokter sudah ada, mulai dari Sumpah Hippocrates, deklarasi internasional, fatwa IDI (Ikatan Dokter Indonesia) serta peraturan perundang-undangan. Pedoman dan deklarasi internasional yang menjadi landasan etik kedokteran ialah:[4]
1. The Hippocratic Oath, Sumpah Hippocrates (460-377 sM)
2. The World Medical Association: Declaration of Geneve, Deklarasi Geneva (1948) tentang Lafal Sumpah Dokter
3. Constitution of The World Health Organization
4. International Code of Medical Ethics (1949)
5. American Hospital Association: A Patient’s Bill of Right
6. Nuremberg Code
7. The World Medical Association: Declaration of Helsinki (1964) tentang Riset Klinik
8. Deklarasi Sydney (1968) tentang Saat Kematian
9. Deklarasi Oslo (1970) tentang Pengguguran Kandungan atas Indikasi Medik
10. Deklarasi Tokyo(1975) tentang Penyiksaan
Hubungan pasien dan dokter merupakan suatu perjanjian yang objeknya berupa pelayanan medik atau upaya penyembuhan, yang dikenal sebagai transaksi terapetik. Perikatan yang timbul dari transaksi terapetik itu disebut inspanningverbintenis, yaitu suatu perikatan yang harus dilakukan dengan hati-hati dan usaha keras (met zorg en inspanning). Pada dasarnya transaksi terapetik ini bertumpu pada dua macam hak asasi yang merupakan hak dasar manusia, yaitu: 1). Hak untuk menentukan nasibnya sendiri (the right to self-determination); dan 2). Hak atas informasi (the right of information).[5]
Immanuel Kant, seorang filsuf Jerman menyatakan bahwa kita harus menghormati martabat manusia, karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang merupakan tujuan pada dirinya. Manusia adalah pusat kemandirian, persona yang memiliki harkat intrinsik dan karena itu harus dihormati sebagai tujuan pada dirinya.[6]
Kant memperkenalkan suatu golden rule atau kaidah emas sebagai landasan etika, yang dapat membantu implementasinya dalam kehidupan sehari-hari.
One of the most popular rules or principles people put forth when asked what they base their ethics on is the Golden Rule, or what Kant called the reversibility criterion. It can be stated many ways, but the usual way is, “Do unto others as you would have them do unto you”.[7]

Kaidah emas ini menyatakan agar seseorang melakukan suatu tindakan seperti apa yang diharapkannya dilakukan orang lain bagi dirinya. Kaidah dapat digunakan apabila kita mengalami kebimbangan dan kebingungan tentang apa yang harus dilakukan dalam situasi tertentu. Meski demikian, kaidah emas tidak secara nyata memberikan panduan tentang hal yang harus kita lakukan, namun memberikan bantuan untuk memilih hal yang terbaik yang dapat kita berikan.[8]
Titik tolak pemikiran Kant adalah kehendak baik. Kehendak baik adalah kehendak yang mau melakukan apa yang menjadi kewajibannya, murni demi kewajiban itu sendiri, bukan karena mencari nama baik, keuntungan atau sekedar mengikuti perasaannya.[9]
Etika medik mengenal 4 (empat) prinsip dasar, yaitu respect for the individual autonomy of each patient as a decision maker (autonomi, bentuk kebebasan bertindak dan mengambil keputusan), beneficence (berbuat baik), non-maleficence (tidak merugikan) dan justice (keadilan).[10]
Di Indonesia, dalam Mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia disebutkan bahwa etik profesional mengutamakan penderita dan memuat prinsip-prinsip beneficence, non maleficence, autonomy dan justice.
Pelanggaran etik kedokterandipergunakan untuk menyebut kelakuan yang tidak sesuai dengan mutu profesional yang tinggi, kebiasaan dan cara-cara yang lazim digunakan. Melanggar etik kedokteran berarti uga melanggar prinsip-prinsip moral, nilai-nilai dan kewajiban yang menuntut diambilnya tindakan-tindakan berupa teguran, skorsing atau dikeluarkan dari keanggotaan (profesi).[11]

Pada dasarnya etika dan hukum beranjak dari landasan yang sama, yaitu moral. Pelanggaran terhadap norma dan nilai etik juga dianggap pelanggaran terhadap norma dan nilai hukum. Etik dan hukum memiliki tujuan yang sama, demi ketertiban umum dalam masyarakat. Beberapa contoh bidang etik yang menjadi kasus hukum: over utilization, under treatment, tidak menerima pasin dalam keadaan terminal, abortus, penghentian alat bantu napas, bayi tabung dan lain-lain.

Malapraktik dan Undang-undang Nomor 23/1992 Tentang Kesehatan
Mengacu pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, maka cakupan perilaku yang dapat dikenai sanksi pidana dapat dikategorikan sebagai berikut:[12]
tindak pidana terhadap nyawa
tindak pidana terhadap tubuh
tindak pidana yang berkenaan dengan tindakan medik semata untuk tujuan komersial (misalnya transplantasi organ, jaringan tubuh, dan transfusi darah).
tindak pidana yang berkenaan dengan pelaksanaan tindakan medik tanpa keahlian atau kewenangan
tindak pidana yang berkenaan dengan tidak dipenuhinya persyaratan administratif, misalnya tidak memiliki izin operasional, tidak meminta persetujuan donor, ahli waris, atau keluarganya
tindak pidana yang berkenaan dengan hak atas informasi
tindak pidana yang berkenaan dengan produksi dan pengedaran alat kesehatan dan sediaan farmasi

Tindak pidana menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992:
1. Melakukan tindakan medik tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan. Pasal 80 ayat (1) jo. Pasal 15 ayat (1) dan (2)
2. Memberikan pemeliharaan kesehatan tanpa memenuhi persyaratan administratif. Pasal 80 ayat (2) jo. Pasal 66 ayat (2) dan (3)
3. Melakukan transplantasi organ tubuh atau jaringan tubuh atau transfusi darah untuk tujuan komersial. Pasal 80 ayat (3) jo. Pasal 33 ayat (2)
4. Melakukan transplantasi organ tubuh atau jaringan tubuh tanpa memiliki keahlian dan kewenangannya. Pasal 81 ayat (1a) jo. Pasal 34 ayat (1)
5. Melakukan implan alat kesehatan tanpa memiliki keahlian dan kewenangan. Pasal 81 ayat (1b) jo. Pasal 36 ayat (1)
6. Melakukan bedah plastik dan rekonstruksi tanpa memiliki keahlian dan kewenangan. Pasal 81 ayat (1c) jo. Pasal 37 ayat (1)
7. Mengambil organ donor tanpa memperhatikan kesehatan donor dan atau tanpa persetujuan donor dan ahli waris atau keluarganya. Pasal 81 ayat (2a) jo. Pasal 34 ayat (2)
8. Melakukan pengobatan dan atau perawatan tanpa keahlian atau kewenangan. Pasal 82 ayat (1a) jo. Pasal 32 ayat (4)
9. Melakukan transfusi darah tanpa keahlian atau kewenangan. Pasal 82 ayat (1b) jo. Pasal 35 ayat (1)
10. Melakukan upaya kehamilan di luar cara alami yang telah ditentukan. Pasal 82 ayat (2a) jo. Pasal 16 ayat (2)

Tindak pidana terhadap tubuh, sama halnya dengan bentuk tindak pidana terhadap nyawa, namun tidak berakibat kematian (hanya mengakibatkan sakit atau luka)
Tabel 1: Malapraktik Medik ditinjau dari UU 23/1992

Hal
UU 23/1992 Tentang Kesehatan
Peraturan
Ketentuan Pidana
Aborsi
Pasal 15(1)
Pasal 15(2)
Penjara 15 tahun atau denda 500 juta rupiah,
ps 80(1)
Transplantasi organ tubuh, transfusi tujuan komersial
Pasal 33(2)
Penjara 15 tahun atau denda 300 juta rupiah,
ps 80(3)
Makanan minuman tak memenuhi standar
Pasal 21(3)
Penjara 15 tahun atau denda 300 juta rupiah,
ps 80(4) a
Melakukan transplantasi tanpa keahlian dan kewenangan
Pasal 34(1)
Penjara 7 tahun atau denda 140 juta rupiah,
ps 81 (1) a
Melakukan implan obat atau alat kesehatan tanpa keahlian dan kewenangan
Pasal 36 (1)
Penjara 7 tahun atau denda 140 juta rupiah,
ps 81 (1) b
Melakukan bedah plastik, tanpa keahlian dan kewenangan rek
Pasal 37 (1)
Penjara 7 tahun atau denda 140 juta rupiah,
ps 81 (1) c
Pengambilan organ dan atau jaringan tubuh dari donor tanpa persetujuan
Pasal 34 (2)
Penjara 7 tahun atau denda 140 juta rupiah,
ps 81 (2) a
Pengobatan dan atau perawatan tanpa keahlian atau kewenangan
Pasal 32 (4)
Penjara 5 tahun atau denda 100 juta rupiah,
ps 82 (1) a
Melakukan transfusi darah tanpa keahlian atau kewenangan
Pasal 35 (1)
Penjara 5 tahun atau denda 100 juta rupiah,
ps 82 (1) b
Melakukan upaya kehamilan di luar cara alami yang telah ditentukan
Pasal 16 (2)
Penjara 5 tahun atau denda 100 juta rupiah,
ps 82 (2)

Malapraktik dan Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
Tujuan pengaturan praktik kedokteran: (UU 29/2004, pasal 3)
Memberikan perlindungan kepada pasien
a. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medik yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi
b. Memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter, dokter gigi
UU 29/2004 ini mengatur banyak hal yang berhubungan dengan praktik kedokteran, termasuk standar pendidikan dokter dan dokter spesialis, pendidikan dan pelatihan, registrasi, perijinan, disiplin kedokteran, pembinaan dan pengawasan. Peraturan tentang informed consent disebut dalam Pasal 45 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi. Pasal 46 berisi kewajiban dokter untuk membuat rekam medik, dan pasal 47 mengatur tentang kewajiban menyimpan rahasia kedokteran.
Malapraktik dapat dibedakan menjadi malapraktik yuridis dan malapraktik etis. Malapraktik yuridis dibedakan 3 (tiga) kelompok, yaitu criminal malpractice (pidana), civil malpractice (perdata), dan administrative malpractice (administrasi)
Beberapa contoh administrative malpractice yang berakibat sanksi pidana atau denda, diberikan kepada dokter yang:
1. Melakukan praktik tanpa STR
2. Melakukan praktik tanpa SIP
3. Menyalahgunakan gelar dokter/dokter gigi oleh yang tidak berhak.
4. Menggunakan alat, metode dll.yang ingin mengesankan penggunaannya seolah-olah oleh dokter/dokter gigi
5. Tidak memasang papan nama, tidak membuat rekam medik
6. Mempekerjakan dokter/dokter gigi yang tidak memiliki SIP
Tabel 2: Ketentuan-ketentuan dalam UU 29/2004

Hal
UU 29/2004 Tentang Praktik Kedokteran
Peraturan
Ketentuan Pidana
Registrasi dr/drg
Pasal 29 (1)
Penjara 3 tahun atau denda 100 juta rupiah, ps 75(1)
STR sementara dr/drg WNA
Pasal 31(1)
Penjara 3 tahun atau denda 100 juta rupiah, ps 75(2)
STR bersyarat dr/drg WNA
Pasal 32 (1)
Penjara 3 tahun atau denda 100 juta rupiah, ps 75(3)
Dr/drg praktik wajib (+) SIP
Pasal 36
Penjara 3 tahun atau denda 100 juta rupiah, ps 76
Identitas/gelar palsu
Pasal 73(1)
Penjara 5 tahun atau denda 150 juta rupiah, ps 77
Alat,metode atau cara lain seolah-olah ybs dr/drg (+) STR
Pasal 73 (2)
Penjara 5 tahun atau denda 150 juta rupiah, ps 78
Wajib pasang papan nama
Pasal 41 (1)
Penjara 1 tahun atau denda 50 juta rupiah, ps 79 a
Wajib membuat rekam medik
Pasal 46 (1)
Penjara 1 tahun atau denda 50 juta rupiah, ps 79 b
Sesuai SOP, rujukan, jaga rahasia, pengobatan darurat, menambah iptekdok
Pasal 51
Penjara 1 tahun atau denda 50 juta rupiah, ps 79 c
Dilarang mempekerjakan dr/drg yang tidak memilik SIP
Pasal 42
Penjara 10 tahun atau denda 300 juta rupiah, ps 80(1)

Malapraktik dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
UU 8/1999 pada dasarnya tidak bertentangan dengan KODEKI dan Sumpah Dokter, utamanya dalam pemenuhan hak-hak pasien, yaitu hak atas informasi dan hak untuk menentukan nasib sendiri, namun perlu dicermati bahwa orang sakit sebagai pasien berbeda dengan konsumen. Ada beberapa hal yang perlu dicermati:
1. Pasal 4 b: Hak untuk memilih barang dan/atau jasa. Hal ini tidak dapat diberlakukan pada keadaan gawat darurat, demi keselamatan pasien.
2. Pasal 4 c: Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur. Dalam keadaan tertentu, demi kepentingan pasien, dokter dapat menahan seluruh atau sebagian informasi.
3. Pasal 4 h: Hak mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian. Perlu diingat bahwa tidak semua kerugian yang timbul pada pelayanan kesehatan berhak mendapat kompensasi atau ganti rugi.
4. Pasal 7 e: Kewajiban memberikan jaminan dan/atau garansi. Pelayanan kesehatan tidak dapat memberikan garansi, karena sifatnya inspanningverbintenis, suatu usaha.

PENUTUP
Malapraktik, etik dan perundang-undangan khususnya dalam bidang pelayanan kesehatan senantiasa muncul dalam hubungan pasien dan dokter. Oleh karena itu di dalam menjalankan profesinya seorang dokter harus tetap berpegang pada etika medik, indikasi medik, dan standar profesi medik.

DAFTAR PUSTAKA

Achadiat, Chrisdiono M. 2007. Dinamika Etika & Hukum Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Azwar, Azrul. “Beberapa Catatan Tentang UU Perlindungan Konsumen dan Dampaknya Terhadap Pelayanan Kesehatan”

Bertens, K. 2004. Etika. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

_______ . 2004. “Etika Bisnis dan Pelayanan Kesehatan” (dalam Pertemuan Nasional III Bioetika dan Humaniora Kesehatan Indonesia, Jakarta)

Hanafiah, M.Jusuf dan Amir, Amri.1999. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan. Penerbit EGC

Harkrisnowo, Harkristuti.2001. “Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana dalam Penanganan Tindak Pidana Medis” (disampaikan pada Kursus Singkat Tenaga Penanganan Dini Konflik Etikolegal dan Sengketa Medik di Rumah Sakit). PERSI. Jakarta

Komalawati, D.Veronica.1989. Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter. Penerbit Sinar Harapan. Jakarta

Little, J.M. 2000. Ethics of resource allocation (dalam Surgery, Ethics and the Law). Blackwell Science. Asia

Magnis-Suseno, Franz. 1998. Model Pendekatan Etika. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Samil, Ratna Suprapti. 2001. Etika Kedokteran Indonesia. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo Jakarta

Thiroux, Jaques, P. 1995. Ethics, Theory and Practice. Prentice Hall. Englewood Cliffs. New Jersey

*) Disampaikan pada Lokakarya ”Strategi Antisipasi Pertanggungjawaban Hukum Terhadap Tuduhan Tindakan Malpraktik /Medical Error Dan Upaya Menjaga Citra Rumah Sakit Akibat Issue Malpraktik Terkait dengan UU Praktik Kedokteran” Haqq Quality. Yogyakarta. 2007
[1] Azrul Azwar: “Beberapa Catatan Tentang UU Perlindungan Konsumen dan Dampaknya Terhadap Pelayanan Kesehatan”
[2] Chrisdiono M. Achadiat: Dinamika Etika & Hukum Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2007. hal. 124-125
[3] K. Bertens: “Etika Bisnis dan Pelayanan Kesehatan” (dalam Pertemuan Nasional III Bioetika dan Humaniora Kesehatan Indonesia, Jakarta, 2004)
[4] M.Jusuf Hanafiah & Amri Amir: Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan. Penerbit EGC. Edisi 3. tahun 1999 hal. 3-4
[5] D. Veronica Komalawati: Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter. Penerbit Sinar Harapan. 1989. hal. 84-85
[6] K. Bertens: Etika. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2004. hal. 170-171
[7] Jaques P. Thiroux: Ethics, theory and Practice. Prentice hall. Englewood Cliffs. New Jersey. 1995. hal. 180
[8] Jaques P. Thiroux. 1995 Ibid
[9] Franz Magnis-Suseno: Model Pendekatan Etika. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 1998. hal. 136
[10] J.M.Little: Ethics of resource allocation (dalam Surgery, Ethics and the Law). Blackwell Science. Asia. 2000. hal. 53
[11] Ratna Suprapti Samil: Etika Kedokteran Indonesia. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo Jakarta. 2001
[12] Harkristuti Harkrisnowo: “Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana dalam Penanganan Tindak Pidana Medis” (disampaikan pada Kursus Singkat Tenaga Penanganan Dini Konflik Etikolegal dan Sengketa Medik di Rumah Sakit). PERSI. Jakarta. 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar